30 September 2009

Nasionalisme.....??

. 30 September 2009
1 komentar

Nasionalisme?, apa itu? untuk sebagian orang mungkin kata nasionalisme sudah sering diperdebatkan. Bahkan sampai kepada siapa orang-orang yang pantas diberikan predikat nasionalisme.


Yang lebih mengerikan lagi, kata nasionalisme sering dipergunakan sebagai tameng pergerakan untuk mendapatkan legitimasi dari banyak orang. Ada yang berpikiran bahwa nasionalisme adalah perilaku orang-orang yang mengutamakan kepentingan bangsa yang telah tertuang dalam UUD’45 dan Pancasila. Dan yang lebih ekstrim lagi mengakui bahwa nasionalisme hanya dimiliki oleh mereka yang benar-benar lahir dan berasal dari tanah pertiwi ini, dengan kata lain nasionalisme hanya dimiliki oleh mereka yang berstatus putra pribumi. Ah....apa iya..?? terus orang keturunan yang lahir di Indonesia dan membawa nama baik bangsa Indonesia di dunia internasional? bagaimana status jiwanya? ada nasionalismenya gak? terus, bagi putra pribumi yang hanya berpikir untuk mendapatkan keuntungan dan melakukan korupsi apakah dapat diberikan predikat berjiwa nasionalisme? bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengutamakan kepentingan kelompok atau organisasinya tetapi menyandarkan niatnya itu dengan balutan kepentingan rakyat dan negara ini? Ah.., nasionalisme-nasionalisme kasian banget nasibmu, kamu hanya dipakai komoditi sesaat oleh mereka-mereka yang berjiwa, dan berpikiran sempit...

Baca Selengkapnya......

Membangun bangsa (yang besar..!!)

.
1 komentar

Saya selaku pendidik di universitas kecil, sering berpikir apakah yang saya lakukan selama ini akan menjadi bagian pembangunan bangsa ini?
Teman saya mengatakan,”untuk mencangkul sawah satu hektar kita tidak membutuhkan cangkul yang lebarnya 100m” dengan cangkul yang lebarnya 20cm saja sudah cukup, apalagi kalau kita melakukannya bersama-sama, bekerjasama, dan saling mengerti bagian masing-masing ini pasti dapat menyelesaikannya dengan cepat!


Kata-kata itu sederhana, real apa adanya sesuai dengan kenyataan dilapangan. Iseng-iseng saya mencoba membawanya ke permasalahan bangsa. Dan memunculkan pertanyaan, kapan ya bangsa ini akan maju? bukankah banyak pihak yang mencoba berbuat, menggunakan cangkulnya, memberikan sumbangsih melalui jalurnya. Kalau diamati semuanya mempunyai tujuan yang baik, tapi sekali lagi kenapa bangsa ini masih tetap sulit melaju untuk berdiri tegak, tegar dan berwibawa.
Kalau berbicara tentang orang-orang pintar, di negeri ini bisa kita jumpai dalam jumlah yang sangat banyak. Banyak universitas yang berkualitas. Banyak lembaga-lembaga yang memproses SDM bangsa ini menjadi hebat, dan setiap tahun banyak sarjana-sarjana baru dilahirkan. Belum lagi yang belajar di luar negeri, dan akan kembali ke negeri ini. Kalau dikumpulkan, jumlah mereka sangat banyak. Tapi, kenapa bangsa ini masih tetap seperti ini, tidak memperlihatkan tumbuhnya kemajuan yang signifikan?
Apanya yang salah?
Bila kita kembali ke ilustrasi diatas, bisa jadi negara ini mengalami kebingungan dalam perkembangannya. Artinya, kalau negara ini diibaratkan sebagai “kuda” terlalu banyak yang mengikat. Ada yang memberikan ikatan pada hidung, ada pada leher, ada pada badan, ada pada kaki depan, kaki belakang bahkan pada buntutnyapun ada. Jadi, kuda ini menjadi bingung mau bergerak kemana. Ujung-ujungnya kuda ini diam ditempat. Tidak bisa bergerak dalam satu waktu untuk mengikuti sekian banyak keinginan. Mungkin kondisi ini yang sedang melanda negara kita. Banyak harapan, keinginan dan tujuan yang muncul dalam waktu bersamaan. Bahkan banyak yang jadi ribut karena semuanya ingin didahulukan. Semuanya memberikan argumen kalau keinginannya yang lebih penting, bagus dan sebagainya. Kalau ini tetap terjadi, sampai kapanpun negara ini akan seperti ini saja.
Mungkin kita perlu kebajikan untuk mengakui bahwa apa yang dimiliki masa lalu bisa kita pakai untuk mengembangkan negara. Satu hal yang hilang dan itu sangat penting adalah arah pegembangan dan kemajuan negara ini. Kita tidak memiliki lagi apa yang disebut rencana pembangunan negara seperti REPELITA, atau mungkin kita perlu buat rencana pengembangan negara dua puluh tahun kedepan. Sasaran dan target harus kita canangkan dan disahkan oleh rakyat. Sehingga siapapun yang menjadi Presiden harus mewujudkan keinginan rakyat tersebut, bukan membawa keinginan dan kehendak pribadi, kelompok atau golongannya. Apalagi jargon-jargon yang menyejukan hati rakyat saat PEMILU, dan hilang tidak berbekas dikala sudah menjabat. Negara ini akan semakin tidak jelas arahnya bila kepemimpinan periode ini mengarah ke kanan, periode berikutnya mengarah ke kiri, periode berikutnya lurus ke depan dan sebagainya. Kita sebagai rakyat berharap negara ini mempunyai Program Besar Pengembangan Negara Indonesia, sehingga arahnya jelas siapapun jokinya. Semestinya kita memilih pemimpin karena mempunyai leadership yang bagus yang mampu mengendalikan kuda itu dengan sangat baik, bukan karena programnya yang notabene gampang berubah bila tertiup angin.

Baca Selengkapnya......

Kata Ikhlas untuk atasan dan bawahan

.
1 komentar

Kita Sering menjumpai atau mungkin sering mendengar atau mungkin sering menghadapi seseorang (khususnya pimpinan) yang mengatakan, “ hai.! you kalo kerja yang ikhlas dong, jangan seperti tukang batu, engkau baru mau kerja kalo ada bahan didepanmu” kalau kita cermati, kata itu bermakna “ kita disuruh bekerja dengan ikhlas dan tidak usah memikirkan apa yang akan diperoleh”.


Dan dia berkata lagi, “ apa yang akan kamu dapatkan semuanya adalah urusan Allah, jadi kamu gak usah itung-itungan”. Kalau dicermati lagi, kita bisa tangkap maknanya bahwa, “rejeki itu urusan Yang Kuasa, tidak usah terlalu ditunggu-tunggu, bekerja saja dan Allah pasti akan memberinya.!
Terus......, apa yang dapat anda katakan?
Menurut saya ada benarnya, tapi juga ada tidak benarnya kalau pimpinan kita hanya berpikir dan berbicara seperti itu, dan tidak pernah mau memahami tugas dan tanggungjawabnya. Kata Ikhlas bukan hanya diperuntukan ke kita saja sebagai bawahan/pekerja, tapi juga harus ditujukan ke atasan. Pada suatu waktu saya pernah bicara dalam suatu forum pelatihan begini, “boleh-boleh saja pimpinan mengatakan bahwa kita harus bekerja dengan ikhlas dan selalu bekerja karena dan untuk Allah,” namun ucapan itu seyogyanya tidak berhenti disitu saja. Perkataan itu harus dilanjutkan karena kalimat itu ada pasangannya yang menyebabkan terjadinya kesetimbangan antara bawahan dan atasan, sebagaimana Allah selalu menciptakan segala sesuatu di dunia ini berpasangan, tentu untuk kesetimbangan tersebut. Didasari kenyataan ini, pimpinan seyogyanya (harus) juga berpikiran bahwa,“ pimpinan harus memberikan upah yang layak dan mampu memberikan kesejahteraan bawahan dan keluarganya tanpa pernah ditagih oleh bawahan”. Dalam hal ini pimpinan juga seyogyanya mampu memberikan jaminan bahwa upah tersebut sudah diberikan sebelum keringat bawahannya mengering.
Kita sebagai bawahan rindu akan kalimat dari pimpinan begini, “Wahai partnerku, bekerjalah engkau dengan ihklas karena aku pimpinanmu juga dengan ihklas bekerja untuk mempertanggungjawabkan kesejahteraan kamu dan keluargamu”.
Bila ini terjadi, alangkah bahagianya kelompok orang yang ada dalam satuan kerja dengan ke-ihklas-an atasan dan bawahan yang saling merajut. Dan saya yakin kelompok kerja itu akan menjadi team yang baik yang selalu bekerja untuk menjadikan lembaganya semakin maju dan semakin maju. Tidak perlu ditagih.!! Amin..

Baca Selengkapnya......

26 Agustus 2009

Berpikir POSITIF..!

. 26 Agustus 2009
1 komentar

Sering kita dengar, Hai.., udahlah, jangan ngomong macem-macem. Sebaiknya kita berpikiran positif aja. Dari pada kita membuat isu, masalahnya bisa jadi ruwet..! tul gak..? mungkin itu sedikit perbincangan yang sering kita dengar. Nah, akankah pemahaman kita tentang “berpikir positif” seperti itu adanya..?


saya memberikan contoh dalam kehidupan kita, sering dengar bahwa si A tertipu lagi oleh si B padahal sebelumnya dia sudah pernah ditipu si B. Besuknya, si A sudah diperdaya lagi oleh si C. Jawaban yang kita dengar dari si A adalah “udahlah, mungkin itu sudah takdir saya. Dan kemungkinan orang-orang itu memang lagi butuh sehingga dia tega melakukan itu ke aku. Sekarang kita berpikir positif aja, siapa tahu orang itu lagi kesulitan sehingga sampai melakukan perbuatan menipu”.
Pada suatu waktu saya berpikir, semudah itukah tanggapan si A.? tidakkah respon yang diberikan itu justru memberikan peluang yang lebih banyak kepada si B dan si C untuk melanjutkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu.
Disini saya punya pendapat begini ; berpikir positif memang harus tapi ada batasannya. Berprasangka kepada seseorang saya rasa tidak salah. Asalkan prasangka itu tidak kita keluarkan sebagai bahan perbincangan, tapi cukup hanya sebagai bahan pertimbangan diri sendiri dalam diri kita, untuk mempertimbangkan dan mencoba untuk mencari tahu kira-kira apa yang akan dilakukan lagi oleh si B maupun si C, intinya untuk membuat kita lebih hati-hati lagi dengan sikapnya si B atau si C, atau boleh jadi dengan yang lainnya. Jadi tidak salah kalau berpikir positif itu juga harus didasari dengan kehati-hatian. Sehingga berpikir positif bukan berarti membiarkan orang tersebut untuk berbuat yang tidak-tidak, tetapi berpikir positif juga harus dapat mencegah orang tersebut agar tidak melanjutkan perbuatan tidak baiknya. Jadi kalau kita sering di”akali” teman kita atau orang lain, maka berpikiran positif yang selama ini kita anut telah memberikan peluang kepada orang tersebut untuk menjalankan perbuatan tidak baiknya. Nah...sering ngerasa gak, kita ini gampang terlena dengan kata-kata manis dan penuh janji-janji oleh orang yangmana orang itu sudah sekian kali ngakali kita.?!

Baca Selengkapnya......

14 Agustus 2009

Harapan Kualitas Pendidikan Tinggi

. 14 Agustus 2009
0 komentar

Pada tahun-tahun terakhir ini, pemerintah banyak menyediakan dana untuk peningkatan kemampuan para pelajar, pendidik (dosen) dan para personal yang ingin ditingkatkan kemampuannya diarahkan untuk belajar di luar negeri. Akankah perilaku ini terus kita kembangkan?


Apakah yang dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak-pihak yang mengarahkan proses pembelajaran ke luar negeri merupakan salah satu wujud ketidakpercayaan mereka terhadap kualitas pendidikan dalam negeri.!. Ataukah ini hanya sekedar gengsi belaka..??, yang sampai detik ini masyarakat masih memberikan penilaian yang lebih kepada mereka yang lulusan luar negeri.
Sedangkan banyak bukti yang ditunjukan kepada kita bahwa sederet insan muda bangsa ini mampu mendapatkan pengakuan dunia dibidang keilmuan, dimana mereka mendapatkan pendidikan dan bimbingan keilmuan di dalam negeri. Apakah ini belum cukup untuk membuktikan bahwa kita mampu dan bisa bersaing dibidang keilmuan. Demikian halnya, betapa banyak mahasiswa kita yang berprestasi di luar negeri. Tapi begitu kembali ke Indonesia hanya sebagai operator Iptek. Walaupun sebagai pengajar, tidak sedikit hanya menyampaikan apa yang diperoleh waktu studi di luar negeri.
Sampai saat ini, memang diakui bahwa sarana pengembangan keilmuan yang dimiliki oleh perguruan tinggi atau universitas di Indonesia ini masih belum mumpuni. Apa yang menyebabkan pihak pemerintah atau mungkin para wakil kita yang ada di DPR belum menyentuh kebutuhan ini? Lagi-lagi jawabannya perlu kita telusuri dengan konsep transparansi. Bayangkan..! seandainya dana yang dipergunakan untuk mengirim mereka ke luar negeri, yang nilainya sangat besar itu, diarahkan untuk membangun dan mengadakan fasilitas pendidikan dan riset di Perguruan tinggi kita, berapa peralatan pendukung yang akan kita dapatkan (kalau membeli) atau yang akan kita ciptakan (kalau kita membuat)? bukankah hal ini akan sangat membantu untuk memandirikan pengembangan dan peningkatan kualitas keilmuan dan riset negeri ini.!. Banyak orang-orang Indonesia yang sangat mumpuni dibidang Iptek, namun tidak dapat berkembang dengan baik karena sarana yang diperlukan dalam pengembangan itu tidak ada atau kurang memadai. Sehingga mereka-mereka yang merasa memiliki kemampuan, lebih baik mengembangkan dirinya dengan seluas-luasnya di luar negeri, karena sarana dan fasilitasnya lengkap dan modern. Mereka yang kembali, lebih banyak kebingungan tidak tahu apa yang akan dilakukan karena semuanya serba tanggung, tidak bisa dilakukan dengan baik dan berkelanjutan.
Bangsa atau rakyat kita mengeluarkan pajak, sebagian dari itu dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan mereka-mereka di luar negeri. Tetapi, setelah mumpuni banyak yang tidak kembali. Kalaupun kembali tapi tidak mengembangkan keilmuannya dengan maksimal untuk kepentingan bangsa, tetapi lebih memilih untuk mengembangkan kemampuannya atau berkarir untuk kepentingan diri sendiri. Betapa ruginya bangsa kita ini.!
Selama pemerintah masih melihat bahwa pendidikan di luar negeri lebih baik, terus kapan pendidikan di negeri ini akan mendapatkan pengakuan oleh bangsanya sendiri (pemerintah). Pemerintah hanya mengacungkan jempol kepada mereka yang berprestasi di luar negeri tapi tidak pernah menempatkan mereka selanjutnya sebagai anak bagsa yang diharapkan di dalam negeri. Hanya imbauan belaka, berdalih akan nilai nasionalisme, mereka hanya diminta untuk kembali ke Indonesia. Tapi, akankah tercuat niat para pemimpin kita bahwa mereka yang akan pulang ke Indonesia harus diberdayakan sesuai dengan kemampuannya.
Menurut penulis, semestinya bangsa ini mengirimkan orang-orang ke luar negeri untuk belajar dan mengembangkan ilmunya dalam batas waktu tertentu, mungkin satu peiode / satu angkatan untuk beberapa orang saja dalam satu jenis keilmuan. Setelah itu, sudah saatnya bangsa/pemerintah ini memerintahkan untuk mengembangkan keilmuannya sendiri di dalam negeri untuk calon-calon ilmuan berikutnya. Negara bertugas membantu menyediakan fasilitas riset dan lainnya sebagai pendukung percepatan pengembangan Iptek. Dengan kata lain, pemerintah mengirimkan satu atau dua orang ke luar negeri untuk mempelajari Iptek, kemudian kembali dan ditugaskan untuk menularkan Ipteknya kebanyak orang.
Pada saatnya nanti, kita tidak perlu mengirimkan orang lagi ke luar negeri untuk belajar (secara formal), tapi cukup mengirimkan orang ke luar negeri untuk mengikuti seminar atau diskusi-diskusi ilmiah. Adu argumentasi keilmuan dan sebagainya akan sangat membantu untuk mengukur tingkat perkembangan keilmuan bangsa kita. Mungkin dengan cara seperti ini, bangsa indonesia akan mempunyai kemandirian pengembangan Iptek yang lebih baik dan lebih cepat, bukan sebagai penerima apalagi hanya sebagai pemakai Iptek belaka. Kondisi ini tidak berbeda halnya dengan memposisikan bangsa kita hanya sebagai operator Iptek saja.
Sampai saat ini, penulis belum mendengar para politisi ataupun mereka yang notabene menghitamputihkan negara yaitu para wakil kita di DPR berbicara tentang pengembangan Iptek atau penetapan-penetapan visi yang ingin membangun kemandirian dalam bidang Iptek. Selama ini yang kita dengar hanya masalah ekonomi, ekonomi kerakyatan, ekonomi liberal, politik dan lain sebagainya, tetapi tidak pernah dipaparkan secara jelas tentang target dan konsep pembangunan kemandirian keilmuan dan teknologi. Disadari ataupun tidak, kemandirian keilmuan dan teknologi merupakan dasar yang kuat untuk menjadikan bangsa kita sebagai bangsa besar. Bangsa yang berani berbicara diforum internasional tentang konsep dan keilmuan bangsa sendiri. Mungkin sudah waktunya pepatah kita perlu diperluas yaitu bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai jasa-jasa para pahlawannya dan mampu menghasilkan, menerapkan dan mengembangkan ilmu dan teknologi untuk kepentingan bangsanya.

Baca Selengkapnya......